Sexy Red Lips Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan Ekonomi | Atrik's Diary

♡(∩o∩)♡

Tuesday, October 24, 2017

Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan Ekonomi

1. Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya :
  1. Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
  2. Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
  3. Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
  4. Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. 
Keterkaitan sistem gerakan benteng dengan gerakan ekonomi saat ini: 
Jika gerakan benteng dikaitkan dengan gerakan ekonomi saat ini tentu banyak kegagalan yang dikarenakan :  
(1) Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal, 
(2) Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif 
(3) Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah 
(4) Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya 
(5) Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
2. Gunting Syafruddin

Goncangan demi goncangan terus terjadi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Agresi Militer Belanda pada tahun 1947 dan 1949 membuat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia kian berat.
Awal 1950, situasi ekonomi Indonesia belum juga membaik, inflasi tinggi, dan harga semakin melambung. Syafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet Hatta Jilid II, mulai berfikir keras untuk menemukan siolusi cepat dan tepat untuk menangkal krisis.
Dicetuskanlah kebijakan moneter yang mengejutkan banyak pihak dan tercatat sebagai kebijakan mata uang yang pertama di Indonesia. Kebijakan ini dilakukan dengan cara menggunting uang kertas menjadi dua bagian, bagian kanan dan bagian kiri. Guntingan uang kertas bagian kiri tetap merupakan alat pembayaran yang sah dengan nilai separuh dari nilai nominal yang tertera, sedangkan guntingan uang kertas bagian kanan ditukarkan dengan obligasi pemerintah yang dapat dicairkan beberapa tahun kemudian. Kebijakan ini dilakukan pemerintah guna mengurangi jumlah uang beredar yang ada di masyarakat.
Ki Agus Ahmad Badaruddin, mantan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan berpandangan bahwa kebijakan ini mempunyai sasaran penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru. Kemudian mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi kemudian menurunkan harga barang.
Menurutnya kebijakan pemotongan uang rupiah menjadi dua bagian ditujukan untuk dua tujuan. Bagian kiri dijadikan sebagai alat pembayaran yang sah dan bagian kanan dapat ditukarkan dengan obligasi negara berbunga tiga persen per tahun.
Gunting Sjafruddin adalah kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 WIB tanggal 10 Maret 1950.
Menurut kebijakan itu, “uang merah” (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00 WIB.
Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi alias dibuang.
Kebijakan ini mengusung konsep pemangkasan nilai mata uang, artinya satuan harga yang tertera hanya dihargai setengah saat berlaku dengan ketentuan yang berbatas waktu. Keputusan ini karena peredaran uang melebihi target, sementara kas negara semakin menipis.
Dengan kebijaksanaan itu, Syafrudin bermaksud “sekali tembak” untuk beberapa sasaran: penggantian mata uang yang bermacam-macam dengan mata uang baru, mengurangi jumlah uang yang beredar untuk menekan inflasi dan dengan demikian menurunkan harga barang, dan mengisi kas pemerintah dengan pinjaman wajib yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 miliar. Sayang sekali, sepak terjangnya dalam menyelamatkan ekonomi Indonesia jarang diungkap.
Sistem Redenominasi
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Pada waktu terjadi inflasi, jumlah satuan moneter yang sama perlahan-lahan memiliki daya beli yang semakin melemah. Dengan kata lain, harga produk dan jasa harus dituliskan dengan jumlah yang lebih besar. Ketika angka-angka ini semakin membesar, mereka dapat memengaruhi transaksi harian karena risiko dan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh jumlah lembaran uang yang harus dibawa, atau karena psikologi manusia yang tidak efektif menangani perhitungan angka dalam jumlah besar.
3. Nasionalisasi De Javasche Bank
6 Desember 1951. Presiden Soekarno, menandatangani Undang-undang Nasionalisasi De Javasche Bank (DJB). UU ini dialasdasari oleh kebutuhan, betapa setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949, pemerintah merasa perlu untuk sesegera mungkin memulihkan perekonomian Indonesia. Perbaikan ekonomi, salah satunya, bisa dicapai dengan menasionalisasi DJB yang mengendalikan sirkulasi uang di Indonesia. 

Sebelum ditetapkannya undang-undang ini, pemerintah membuat Komisi Nasionalisasi DJB. Soemitro Djojohadikusumo menjadi salah satu perancang nasionalisasi DJB tersebut. Atas pertimbangan-pertimbangan yang diajukan komisi ini, pemerintah akhirnya menyetujui untuk menasionaliasasi DJB. 

Pada mulanya, DJB adalah bank sentral yang bersifat partikelir dan berada di bawah kekuasaan modal asing. Makanya, cukup aneh rasanya jika sebuah negara yang berdaulat, sirkulasi uangnya justru dikendalikan pihak asing. Untuk itulah pemerintah merasa perlu menasionalisasi DJB menjadi Bank Indonesia. Nasionalisasi DJB juga dimaksudkan untuk bisa membina bank-bank lain di Indonesia. 

Untuk itu, saham-saham DJB yang dimiliki Belanda dicabut dan diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Nasionalisasi DJB berlangsung dengan cara yang moderat.Pemerintah mengganti kerugian kepada para pemegang saham DJB sebesar 120% dari harga nominal saham dalam gulden. Kepada pemegang saham yang berkewarganegaraan Indonesia, pemerintah memberikan ganti rugi sebesar 360% dari harga nominal saham dengan rupiah. 

Menteri keuangan dalam Kabinet Sukiman, Jusuf Wibisono, diberi keleluasaan untuk mengambil tindkan yang dirasa perlu untuk melaksanakan Undang-undang tersebut. Sementara itu, Sjafruddin Prawiranegara, mantan Presiden PDRI, ditunjuk sebagai gubernur Bank Indonesia yang pertama. Dialah yang bertanggungjawab terhadap iklim moneter negara saat itu.

Sejak saat itu, Bank Indonesia menjadi pelayan kepentingan umum sebagai bank sentral yang mengatur sirkulasi uang. Dengan demikian, kepentingan meraup laba dinomorduakan setelah fungsi dan tugas utama tersebut. Dari pertimbangan itu, pemerintah tak menyerahkan Bank Indonesia kepada pihak swasta.

Nasionalisasi DJB sebenarnya tak semulus yang dibayangkan. Rangkaian polemik menyertai nasionalisasi DJB. Terjadi perbedaan pendapat antara Sjariffuddin Prawiranegara dengan Soemitro Djojohadikusumo. Menurut Soemitro, ketika Sjariffudin menjabat Gubernur Bank Indonesia, kebijakan yang diambil tak ubahnya ekonom Belanda. Bank Indonesia tak bisa menjalankan fungsinya sebagai pelayan kepentingan publik. Sedang Sjariffudin menilai Soemitro saat menjabat sebagai menteri Keuangan pada 1952 terlalu menekankan kebijakan ekonomi industri yang tak tepat dilakukan di awal Indonesia merdeka. 

Setelah dilansirnya Oeang Republik Indonesia (ORI) padaa akhir 1945, nasionalisasi DJB adalah kebijakan moneter Indonesia yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia. 

Jika ORI dan penggunaan ORI oleh rakyat Indonesia daripada penggunaan Gulden bisa diletakkan sebagai penanda zaman yang mencerminkan semangat nasionalistik rakyat Indonesia, maka nasionalisasi DJB bisa dibaca sebagai kehendak untuk mulai membangun kemandirian di bidang moneter. Tanpa nasionalisasi DJB yang menjadi bank sentral yang sirkulasi uang, kemandirian moneter itu hampir bisa dipastikan akan lebih lama lagi ditempuh.
Tujuan nasionalisasi De Javasche Bank
a. Menaikkan pendapatan
b. Menurunkan biaya ekspor
c. Melakukan penghematan secara drastic.
4. Pembentukan Biro Perancang Negara
Biro Perancang Negara dibentuk pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan tugas merancang pembangunan negara jangka pendek yang diketuai oleh Djuanda. Karena masa kerja kabinet yang terlalu singkat biro ini tidak dapat bekerja maksimal.
Keterkaitan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) 
RPLT merupakan salah satu kebijakan yang dikeluarkan Biro Perancang Negara. Kebijakan ini dilaksanakan pada tahun 1956-1961.
5. Sistem Ekonomi Ali-Baba
sistem ekonomi ini diprakarsai oleh Mr. Iskaq Cokrohadisuryo. Tujuan sistem ekonomi ini adalah untuk memajukan pengusaha pribumi. Ali menggambarkan pengusaha pribumi, sedangkan Baba menggambarkan pengusaha non pribumi (khususnya Cina).
Maksud dari sistem ekonomi Ali Baba ini adalah supaya pengusaha pribumi dan non pribumi saling bekerja sama untuk memajukan perekonomian di Indonesia. Namun dalam perkembangannya sistem ini mengalami kegagalan, penyebabnya apa? akan saya bahas pada bagian bawah nanti.

Dalam pelaksanaan kebijaka Ali Baba ini, pengusaha nonpribumi memiliki kewajiban untuk memberi latihan kepada tenaga-tenaga Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah memberikan kredit dan lisensibagi usaha-usaha swasta nasional. Pemerintah sangat memperhatikan pengusaha pribumi agar dapat bersaing dengan perusahaan asing kala itu.

Namun dalam pelaksanaannya, program ini berjalan tidak baiik dikarenakan pengusaha pribumi belum memiliki pengalaman banyak sehingga cukup sulit bersaing dengan perusahaan luar. Selain itu, sistem ekonomi ali baba disalah gunakan oleh oknum-oknum tertentu. Pengusaha Indonesia hanya dijadikan sebagai alat bagi para pengusaha Tionghoa untuk memperoleh kredit dari pemerintah.

Sistem Ekonomi Ali Baba mengalami kegagalan karena beberapa hal berikut :

  1. Kredit yang digunakan ternyata tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pengusaha pribumi, malah dipindahkan kepada pengusaha tionghoa secara sepihak
  2. Kredit yang diberikan pada awalnya dimaksudkan untujk mendorong kegiatan produksi tapi malah diselewengkan untuk kegiatan konsumsi 
  3. Kegagalan pengusaha pribumi dalam memanfaatkan kredit secara maksimal sehingga kurang berdampak positif terhadap perekonomian indonesia waktu itu.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) 
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Hal ini menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. Program yang dilaksanakan pada umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Djuanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956 – 1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan sekitar 12,5 miliar Rupiah. Namun, dalam pelaksanaannya RPLT tidak dapat berjalan dengan baik karena:
  • Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 yang mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
  • Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
  • Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

0 comments:

Post a Comment

 

Atrik's Diary